Sabtu, 14 Mei 2011

Aku Bersyukur Lahir, Besar, dan Tinggal di Indonesia


Alhamdulillah, beberapa waktu yang lalu, aku bersama dengan teman – teman rombongan kelompok kerja kepala sekolah Martapura, mendapat kesempatan berkunjung ke negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia.  Singapura, salah satu negara yang kami kunjungi,  merupakan negara yang sangat dekat dengan negara kita.  Dengan memakan waktu hanya kurang lebih 1 jam naik fery dari pelabuhan Sekupang Batam kita sudah sampai di Harbourfront Singapura dan selanjutnya melaporkan diri di keimigrasian di Pelabuhan Singapura tersebut sebelum memasuki negara mereka.

Pemeriksaan sangat ketat.  Tidak hanya dokumen keimigrasian kita yang diperiksa tetapi juga barang bawaan kita. Tidak ada permen karet dan bagi perokok  cukup membawa satu bungkus dan itupun sudah dalam kondisi terbuka untuk dikonsumsi sendiri, selebihnya beli di negara mereka yang harganya tentu saja sangat jauh dengan rokok yang kita bawa. Mereka tidak memberikan peluang kepada pendatang untuk membawa rokok melebihi kebutuhan sendiri apalagi untuk dijual. Inilah salah satu kebijakan mereka untuk membatasi barang – barang luar dan menggalakkan penjualan barang sendiri, selain tentu saja untuk mendapatkan pendapatan dari bea cukai yang sangat tinggi.  Bandingkan dengan negara kita yang kebanjiran barang – barang luar yang murah karena sering tanpa cukai sehingga mematikan produk kita sendiri.


Selain pemeriksaan terhadap barang – barang tersebut, sudah pasti barang terlarang seperti narkoba,  senjata, apalagi bom dan barang terlarang lainnya tidak bakalan bisa melewati imigrasi mereka.  Jika terlihat mencurigakan atau ada hal – hal yang janggal, kita akan diinterogasi tanpa bisa dibantu oleh teman seperjalanan kita.  Sisi positifnya adalah negara ini terlihat kondusif dan aman.  Katanya, jika di paspor kita sudah pernah melewati keimigrasian Singapura maka ketika melewati keimigrasian di negara lain akan lebih mudah karena dianggap Singapura paling ketat keimigrasiannya.

Ketika bis pariwisata membawa kami menuju kota maka decak kagum sering terlontar dari mulut kami.  Betapa tidak, arsitektur kota yang modern dengan lingkungan yang asri menghias sepanjang jalan.  Kotanya sangat bersih, terpelihara dan teratur. Kamera CCTV ada dimana – mana yang akan merekam aktifitas warganya dan pendatang. Kalau mau coba-coba, silahkan anda buang sampah, merokok atau meludah sembarangan dan tak berapa lama anda pasti kena tilang.  Dikotanya yang sebenarnya sangat kecil ini (  74 KM dari utara ke selatan ) kondisi jalannya mulus, lalu lintasnya tertib tak ada kemacetan.  Jarang sekali terdengar suara klakson dan asap yang mengepul dari knalpot mobil ataupun kendaraan lainnya. Menurut pemandu wisata kami, Pemerintah Singapura sangat membatasi jumlah penjualan kendaraan setiap tahunnya. Harga mobil 2 kali lipat harga di Indonesia. Tahun pemakaiannya hanya di batasi 10 tahun untuk kendaraan pribadi dan 7 tahun untuk kendaraan umum. Jadi tidak mengherankan kalau kendaraan eks singapura pasti kondisinya masih bagus dan menurut pemandu kami lagi, sambil diselingi canda, diantara onderdilnya yang paling bagus adalah ‘klakson’, karena jarang dipakai. Etika berlalu lintas sangat dijaga, kalaupun kita ingin mengklakson karena kondisi tertentu, cukup satu kali dan pelan saja, orang sudah paham. Dan lagi – lagi pikiran kami menerawang membanding-bandingkan dengan kondisi lalu tintas kita di tanah air.
Semakin kami melihat ‘ketakjuban-ketakjuban’ negara orang, semakin miris hati kami ketika harus membanding – bandingkan dengan negara sendiri. Harus berapa puluh tahun lagi kita mengejar mereka yang notabene sebuah negara kecil yang sebagian tanahnya adalah tanah urukan dibeli dari pasir pulau-pulau kecil kita yang akhirnya harus tenggelam, yang juga sebagian limbah – limbah kota mereka dibuang dan ditampung di negara kita.  Ah, belum lagi kalau kita harus membandingkan pemerintahan, birokrasi, pendidikan, pariwisata dan lain-lain, semakin mirislah hati ini.

Untunglah kami disadarkan oleh ‘statemen’ pemandu kami yang kebetulan masih memiliki darah Indonesia. Sepertinya beliau sadar dengan apa yang sedang kami pikirkan.    “ Bapak, Ibu janganlah terlalu membanding-bandingkan Singapura dengan Indonesia karena nantinya akan mengurangi penghargaan akan negeri sendiri.  Bersyukurlah karena Bapak, Ibu terlahir di negeri yang sebenarnya indah, yang sumber daya alamnya alami dan berlimpah ruah”. “Tengoklah negara kami Singapura,” katanya. “Negeri ini kecil, lahannya terbatas sehingga orang tidak bisa membangun rumah sebesar-besarnya dengan halaman yang seluas – luasnya seperti di Indonesia”.  “Harga tanah dan rumah selangit, itupun dibatasi, dan pengembangannya tidak kesamping, tapi ke atas”. “ Orang – orang banyak yang tinggal di apartemen ataupun di rumah susun. Betapa rentannya kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Kebakaran misalnya. Sosialisasi antar tetangga jadi kurang karena terhalang oleh tembok sekalipun tinggal bersebelahan.  Bayangkan kalau pas ada yang meninggal dilantai 23, mayat harus digotong lewat tangga kebawah jika liftnya tidak muat”.

 “Anak – anak kakinya bersih karena jarang bahkan mungkin tidak pernah menginjak tanah liat atau tanah becek. Bandingkan dengan anak – anak kita yang bebas berlari-larian di jalan, atau di halaman yang luas, berhujan – hujanan, sambil sesekali memanjat pohon dengan hati yang riang. “ Antara serius dan bercanda, si pemandu bercerita lagi “Bapak, Ibu, anak – anak Singapura ketika ada kesempatan diajak orangtuanya keluar Singapura dan pas kebetulan melihat ayam berkeliaran di daerah lain, mereka akan minta Bapaknya menghentikan mobil sekedar melihat pertunjukkan yang bagi mereka sangat langka.  Selama ini mereka kenal ayam hanya lewat gambar ataupun tayangan televisi, kalaupun ada mereka hanya bisa melihat ayam yang bulu-bulunya sudah bersih siap untuk di masak yang di jual  di supermarket – supermarket.  Ayam dilarang dipelihara karena tidak ada tempat yang refresentatif  selain tentu saja mengganggu lingkungan komplek atau apartemen”.

 Masih banyak lagi cerita – cerita dari si pemandu dari sisi yang lain. Akupun tersadar, masih begitu banyak kelebihan – kelebihan yang dimiliki oleh negeri ini yang sangat patut kita syukuri. Terkadang kita hanya melihat sisi – sisi buruk  kita dan hanya memandang sisi indah orang lain saja.  Bagus memang sebagai bahan introspeksi tetapi jangan sampai mengurangi penghargaan dan rasa syukur terhadap yang kita miliki. Kekurangan – kekurangan yang ada menjadi tugas kita bersama untuk peduli dan menanggulanginya.  Kepada anak didikku akan kutanamkan kebanggaan dan rasa syukur mereka sebagai orang yang terlahir dan besar di negeri ini. Terus membuka wawasan, melihat dan mempelajari kelebihan – kelebihan orang, belajar dari kekurangan dan kesalahan, karena dari merekalah nantinya yang diharapkan generasi – generasi yang diharapkan membawa perubahan menuju perbaikan. I Love Indonesia. Martapura, 5-5-2011.

1 komentar:

  1. kalau ada KKKS studi bangding lagi kut dong...? aku pingin ke luar negeri .... salam untuk pak H. Padillah kep sek SDN Jawa 1

    BalasHapus